Berbagi rupanya sangat
indah
Meski tak seberapa
Bahagia yang dirasa
tak terukur lagi
Mengenal kisah dan
kehidupan dari para pejuang pendidikan
Betapa semangat yang
luar biasa mampu menghalau segala yang sepertinya tak mungkin
Demi pendidikan semua
akan dilakukan
Walau rumah hanya
berbingkai kayu
Walau penerang yang
sangat minim
Walau lelah yang
sangat untuk mencuci segunung pakaian dari para tuan
Cahaya imulah yang
akan menerangi gulita dan pengap
Mengentaskan segala
kemiskinan yang mendera
Anak-anak harus
sekolah. Harus!
Biarlah cacian orang
jadi cambuk untuk menjadi kuat
Tuhan dan waktuNya
yang akan buktikan.
#Puisi
diatas terilhami dari perjalan kami pada keluarga calon adik asuh
kami, Ibu Tari.
Januari nanti rencananya
coin a chance!
Semarang akan menambah adik asuh lagi. Nah makanya belakangan ini
kami sedang gencar mencari para adik asuh yang pas untuk progam kami.
Daerah tinjauan kami salah satunya berada di daerah Klipang, tak jauh
dari Bendungan Kanal Timur. Atas rekomendasi dari seorang ibu pemilik
loudry perumahan Klipang, kami pun meluncur.
Antara takjub, bingung,
dan kaget kami sampai juga. Rumah itu terletak di daerah yang
tanahnya sedikit miring, Tak ada tembok yang menopang, ataupun semen
sebagai alas. Rumah itu hanya berdirikan dari kayu triplek yang tak
seragam, dan lantai ala kadarnya sekali.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam”,
seorang bapak, ibu, dan anak kecil menyambut kami dan mempersilakan
kami duduk di atas sofa yang maaf sudah rusak. Keluarga ini hanya ada
satu tulang punggung tetap, yaitu sang ibu yang bekerja sebagai buruh
cuci. Bu Tari ini adalah pahlawan nafkah keluarga, wanita tangguh
luar biasa yang akan melakukan pekerjaan apa saja asal halal demi
keluarganya,
dari mulai buruh cuci, tukang pijet, tukang cuci piring
bila ada orang duwe gawe.
“Yang penting anak-anak tidak kelaparan
Mbak, dan bisa sekolah”. Kemiskinannya
menjadikan Bu Tari bertekad untuk membawa anak-anaknya sekolah, agar
kelak bisa hidup lebih baik. Hinaan dan cacian orang bagai makanan
wajib Bu Tari dan keluarganya “ Opo iso wong
mlarat nyekolahke anak-anake”. Tapi justru
itulah cambukan semangat bagi Bu Tari untuk bekerja, untuk
menyekolahkan anak-anaknya, membebaskan kemiskinan yang sudah kenyang
dimakan. Semangat dari Bu Tari ini kemudian menyalur pada
anak-anaknya. Pak
Sohib sendiri bukannya tidak mau bekerja, keadaan fisiknya yang sudah
bolak balik dioperasi usus dan ginjalnya, tak memungkinkan Pak Sohib
bekerja normal.
|
(Potret Keluarga Bu Tari) |
Bu Tari sendiri mempunyai
lima orang anak. Anak pertama SMK kelas satu, anak kedua SD kelas 6,
anak ketiga kelas 4, anak keempat kelas 1, dan yang terakhir baru dua
tahun. Bu Tari sendiri pernah mencoba KB namun gagal.
Awalnya kami hanya ingin
menyeleksi Shella saja, yang kami rasa paling pas, kelas enam dan
sebentar lagi SMP. Pasti memerlukan biaya banyak. Shella sendiri
sudah langganan jadi juara kelas selama tiga tahun berturut-turut.
Agak pendiam tapi semangat dalam matanya terus menyala. Kemudian Bu
Tari dan Pak Sohib juga bercerita bahwa anak-anaknya alhamdulillah
pintar-pintar. Selsa anak ketiganya selalu masuk lima besar, dan
Selvy si sulung berhasil masuk SMK Pembangunan Semarang yang notabene
adalah SMK favorit di Semarang, dan untuk semester ini Shelvy yang
mengambil kelas teknik elektro industri, berhasil menduduki peringkat
empat mengalahkan teman-temannya yang sebagian besar mengikuti les di
luar sebagai tambahan.”Kalau Shelvy anaknya periang Mba, beda
dengan Shella yang pendiam”, tutur Bu Tari.
Benar saja setelah Shelvy
keluar dan kami ajak ngobrol pembawaannya sangat riang, cuek, tomboy
(mungkin karena sebagian besar teman-temannya laki-laki), dan
ternyata Shelvy adalah seorang aktivis sekolah, alias punya enam
ekstrakurikuler di sekolah. Salah satu yang diikutinya adalah paduan
suara. Katanya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan itu Shelvy merasa
fresh setelah berfikir berjam-jam di sekolah. Dalam usianya yang baru
enam belas tahun Shelvy sudah bercita-cita menjadi seorang dokter.
“dengan saya sekolah di SMK saya bisa nyari kerja, trus habis
itu uangnya saya tabung buat biaya kuliah saya di kedokteran”,terang
Shelvy dengan semangat menyala. Wuihhhh, keren yah usia segitu sudah
tahu apa yang diinginkan dan sudah tahu gimana cara dia sampai pada
mimpinya. Karena kami juga jatuh cinta pada Shelvy, akhirnya Shelvy
pun masuk calon adik asuh kita berikutnya.
Guys, ternyata di luar
sana masih banyak yah para pejuang pendidikan yang nggak kenal kata
nyerah meski dilanda segala keterbatasan mereka. Contohnya ya kayak
Bu Tari, kemiskinannya justru jadi modal semangatnya untuk terus
bekerja dan menyalakan cahaya ilmu, cahaya pendidikan di rumah kayu
mereka.
Jempol untuk pak sohib,,.........semagat,...
BalasHapus