Tentang Semarang Coin a Chance!

kami

Semarang Coin A Chance! merupakan lanjutan sebuah gerakan sosial yang diawali di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008. Melalui gerakan ini, kami berusaha mengajak kawan-kawan, kerabat, keluarga, juga para netters (blogger, plurker, facebooker…) untuk mengumpulkan ‘recehan’ atau uang logam yang bertumpuk dan mungkin jarang digunakan. Uang yang terkumpul akan ditukarkan dengan ’sebuah kesempatan’ bagi anak-anak yang kurang mampu agar mereka dapat melanjutkan sekolah lagi

Jika kamu atau kenalanmu kebetulan mempunyai setumpuk ‘recehan’ atau uang logam yang rasa-rasanya tak akan dipakai untuk berbelanja dan sudah tak muat lagi disimpan di dalam dompet, ayo tukarkan koinmu dengan kesempatan melanjutkan sekolah bagi anak-anak yang kurang mampu!
Jika kamu bergabung, kesempatan yang dimiliki anak-anak Indonesia untuk bersekolah kembali akan lebih besar, lho..!

Cerita dari Rumah Kayu



Berbagi rupanya sangat indah
Meski tak seberapa
Bahagia yang dirasa tak terukur lagi
Mengenal kisah dan kehidupan dari para pejuang pendidikan
Betapa semangat yang luar biasa mampu menghalau segala yang sepertinya tak mungkin
Demi pendidikan semua akan dilakukan

Walau rumah hanya berbingkai kayu
Walau penerang yang sangat minim
Walau lelah yang sangat untuk mencuci segunung pakaian dari para tuan
Cahaya imulah yang akan menerangi gulita dan pengap
Mengentaskan segala kemiskinan yang mendera
Anak-anak harus sekolah. Harus!
Biarlah cacian orang jadi cambuk untuk menjadi kuat
Tuhan dan waktuNya yang akan buktikan.
     #Puisi diatas terilhami dari perjalan kami pada keluarga calon adik asuh kami, Ibu Tari.

Januari nanti rencananya coin a chance! Semarang akan menambah adik asuh lagi. Nah makanya belakangan ini kami sedang gencar mencari para adik asuh yang pas untuk progam kami. Daerah tinjauan kami salah satunya berada di daerah Klipang, tak jauh dari Bendungan Kanal Timur. Atas rekomendasi dari seorang ibu pemilik loudry perumahan Klipang, kami pun meluncur.
Antara takjub, bingung, dan kaget kami sampai juga. Rumah itu terletak di daerah yang tanahnya sedikit miring, Tak ada tembok yang menopang, ataupun semen sebagai alas. Rumah itu hanya berdirikan dari kayu triplek yang tak seragam, dan lantai ala kadarnya sekali.
         “Assalamualaikum”
       “Wa’alaikumsalam”, seorang bapak, ibu, dan anak kecil menyambut kami dan mempersilakan kami duduk di atas sofa yang maaf sudah rusak. Keluarga ini hanya ada satu tulang punggung tetap, yaitu sang ibu yang bekerja sebagai buruh cuci. Bu Tari ini adalah pahlawan nafkah keluarga, wanita tangguh luar biasa yang akan melakukan pekerjaan apa saja asal halal demi keluarganya,
dari mulai buruh cuci, tukang pijet, tukang cuci piring bila ada orang duwe gawe. “Yang penting anak-anak tidak kelaparan Mbak, dan bisa sekolah”. Kemiskinannya menjadikan Bu Tari bertekad untuk membawa anak-anaknya sekolah, agar kelak bisa hidup lebih baik. Hinaan dan cacian orang bagai makanan wajib Bu Tari dan keluarganya “ Opo iso wong mlarat nyekolahke anak-anake”. Tapi justru itulah cambukan semangat bagi Bu Tari untuk bekerja, untuk menyekolahkan anak-anaknya, membebaskan kemiskinan yang sudah kenyang dimakan. Semangat dari Bu Tari ini kemudian menyalur pada anak-anaknya. Pak Sohib sendiri bukannya tidak mau bekerja, keadaan fisiknya yang sudah bolak balik dioperasi usus dan ginjalnya, tak memungkinkan Pak Sohib bekerja normal. 

(Potret Keluarga Bu Tari)
Bu Tari sendiri mempunyai lima orang anak. Anak pertama SMK kelas satu, anak kedua SD kelas 6, anak ketiga kelas 4, anak keempat kelas 1, dan yang terakhir baru dua tahun. Bu Tari sendiri pernah mencoba KB namun gagal.
Awalnya kami hanya ingin menyeleksi Shella saja, yang kami rasa paling pas, kelas enam dan sebentar lagi SMP. Pasti memerlukan biaya banyak. Shella sendiri sudah langganan jadi juara kelas selama tiga tahun berturut-turut. Agak pendiam tapi semangat dalam matanya terus menyala. Kemudian Bu Tari dan Pak Sohib juga bercerita bahwa anak-anaknya alhamdulillah pintar-pintar. Selsa anak ketiganya selalu masuk lima besar, dan Selvy si sulung berhasil masuk SMK Pembangunan Semarang yang notabene adalah SMK favorit di Semarang, dan untuk semester ini Shelvy yang mengambil kelas teknik elektro industri, berhasil menduduki peringkat empat mengalahkan teman-temannya yang sebagian besar mengikuti les di luar sebagai tambahan.”Kalau Shelvy anaknya periang Mba, beda dengan Shella yang pendiam”, tutur Bu Tari.
Benar saja setelah Shelvy keluar dan kami ajak ngobrol pembawaannya sangat riang, cuek, tomboy (mungkin karena sebagian besar teman-temannya laki-laki), dan ternyata Shelvy adalah seorang aktivis sekolah, alias punya enam ekstrakurikuler di sekolah. Salah satu yang diikutinya adalah paduan suara. Katanya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan itu Shelvy merasa fresh setelah berfikir berjam-jam di sekolah. Dalam usianya yang baru enam belas tahun Shelvy sudah bercita-cita menjadi seorang dokter. “dengan saya sekolah di SMK saya bisa nyari kerja, trus habis itu uangnya saya tabung buat biaya kuliah saya di kedokteran”,terang Shelvy dengan semangat menyala. Wuihhhh, keren yah usia segitu sudah tahu apa yang diinginkan dan sudah tahu gimana cara dia sampai pada mimpinya. Karena kami juga jatuh cinta pada Shelvy, akhirnya Shelvy pun masuk calon adik asuh kita berikutnya.
Guys, ternyata di luar sana masih banyak yah para pejuang pendidikan yang nggak kenal kata nyerah meski dilanda segala keterbatasan mereka. Contohnya ya kayak Bu Tari, kemiskinannya justru jadi modal semangatnya untuk terus bekerja dan menyalakan cahaya ilmu, cahaya pendidikan di rumah kayu mereka.

1 komentar: